Sebuah Hadits

1. Muslim

حدّثنا ﺃﺒﻮﺍﺒﻜﺮﺒﻦﺃﺒﻰﺸﻴﺒﺔ, ﻮﻤﺤﻤﺪﺒﻦﻋﺒﺪﺍﷲﺒﻦﻨﻤﻴﺮ, ﻮﻤﺤﻤﺪﺒﻦﺍﻠﻤﺜﻨﻰ (ﻮﺍﻠﻔﻈﻷﺒﻲﺒﻜﺮﻮﺍﺒﻦﻨﻤﻴﺮ)ﻘﺎﻠﻮﺍ: ﺤﺪﺜﻨﺎﻤﺤﻤﺪﺒﻦﻔﻀﻴﻞﻋﻦﺃﺒﻲﺴﻨﺎﻦ (ﻮﻫﻮﻀﺮﺍﺒﻦﻤﺮﺓ) ﻋﻦﻤﺤﺎﺮﺐﺒﻦﺪﺜﺎﺮ, ﻋﻦﺍﺒﻦﺒﺮﻴﺪﺖ, ﻋﻦﺃﺒﻴﻪ, ﻘﺎﻞ: ﻘﺎﻞﺮﺴﻮﻞﺍﷲﺼﻞﺍﷲﻋﺎﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢ: ((ﻨﻬﻴﺘﻜﻢ ﻋﻦﺰﻴﺎﺮﺓﺍﻠﻘﺒﻮﺮ, ﻔﺯﻮﺮﻮﻫﺎ, ﻮ ﻨﻬﻴﺘﻜﻢﻋﻦﻠﺤﻮﻢﺍﻻﻀﺎﺤﻲﻔﻮﻖﺜﻼﺚ,ﻔﺎﻤﺴﻜﻮﺍﻤﺎﺒﺪﺍﻠﻜﻢ.ﻮﻨﻬﻴﺘﻜﻢﻋﻦﺍﻠﻨﻴﺬﺇﻻﻔﻲﺴﻘﺎﺀ, ﻔﺸﺮﺒﻮﺍﻔﻲﺍﻻﺴﻘﻴﻪﻜﻠﻫﺎ. ﻮﻻﺘﺸﺮﺒﻮﺍﻤﺴﻜﺮﺃ)).[1]



[1] Kitab Shahih Muslim.Zanaiz. Juz, 1. No: 106. hal. 429-430

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA

MAKALAH

AGAMA PADA MASA REMAJA DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah ”Psikologi Agama”

Disusun oleh :

Compiled by:

Yandy Puralexy

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.

Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).

Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga. Oleh karena itu penulis akan membahas perkembangan jiwa beragama pada masa kanak-kanak.

B. Rumusan Masalah

1. Ciri-ciri kesadaran beragama pada masa anak-anak.

2. Tahap perkembangan beragama pada anak-anak

3. Sifat kesadaran beragama pada masa kanak-kanak


BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Kehidupan Manusia

Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:

1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.

2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.

3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)

4. Umur 12 – 21 tahun, periode sosial atau masa pemuda.

5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.

Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:

1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.

2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.

3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.

4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.

5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.

6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun

7. Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.

8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.

9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.

10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.

B. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak

1. Agama Pada Masa Anak- Anak

Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:

a) 0 – 2 tahun (masa vital)

b) 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)

c) 6 – 12 tahun (masa sekolah)

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.

Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.

Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (7 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.

Dalam buku lain dinyatakan pada waktu lahir, anak belum beragama, ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah terpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin didalam kandungan.

Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran beragama itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah:

a. Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris

Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak mulai dari hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap sikap dan perilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan diikuti oleh anaknya. Si anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersifat egosentris. Pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan dorongan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdo’a ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan, atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera.

b. Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik

Keimanan si anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman, dan kenikmatan jasmaniah. Walaupun sekitar umur 8 tahun sikap anak makin tertuju kedunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang gaib dan dibayangkan secara konkret. Tuhan duhayati secara konkret sebagai pelindung. Pemberi kasih sayang dan pemberi kekuatan gaib. Kadang-kadang si anak mempercayai kempuan orang yang dikeramatkan untuk mendapatkan benda magis dari Tuhan yang dapat digunakan sebagai penangkal bahaya dan pelindung diri. Ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi Sulaiman untuk digunakan sebagai alat bagi pemuasan kebutuhan dan keinginannya yang bersifat egosentris, konkret, dan segera.

c. Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati

Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial dan mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.

Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi, disiplin, dan tumbuhnya kesadaran moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin, perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Surga, neraka, dan kehidupan akhirat tidak lagi hanya merupakan hayalan, akan tetapi merupakan keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekang diri dari perbuatan salah dan mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran.

2. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak

Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:

a. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)

Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.

Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajarannya, dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional, dan spontan tapi penuh arti teologis.

b. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)

Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.

Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

c. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:

a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.

b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).

c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.

Berkaitan dengan masalah ini, Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:

a. Fase dalam kandungan

Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,

b. Fase bayi

Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.

c. Fase kanak- kanak

Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.

d. Masa anak sekolah

Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

  1. Sifat agama pada anak

Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:

  1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)

Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.

  1. Egosentris

Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.

Pada usia 7 – 9 tahun, do’a secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang do’a sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi do’a beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.

  1. Anthromorphis

Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.

  1. Verbalis dan Ritualis

Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan do’a yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).

  1. Imitatif

Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan

  1. Rasa heran

Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah: pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris, keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik, peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.

b. Perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian: The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng), The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan), The Individual Stage (Tingkat Individu).

c. Pada tingkat The Individual Stage (Tingkat Individu) anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan: (a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. (b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan). (c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama

d. Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian: unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik), egosentris, anthromorphis, verbalis dan ritualis, imitatif, dan rasa heran.

DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul Aziz. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila . Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.

Dister, Nico Syukur. Psikologi Agama. Jakarta: Kanisius, 2000.

Hasan, Aliah B. Purwakanta. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Ramayulis. Psikologi Agama. Bandung: Kalam Mulia, 2004.

Rabu, 16 Februari 2011

Makalah Tentang Kejiwaan (Psikologi Agama)

BAB I
PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang Masalah
Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga. Oleh karena itu penulis akan membahas  perkembangan jiwa beragama pada masa kanak-kanak.

B.  Rumusan Masalah
1.   Ciri-ciri kesadaran beragama pada masa anak-anak.
2.   Tahap perkembangan beragama pada anak-anak
3.   Sifat kesadaran beragama pada masa kanak-kanak


BAB II
PEMBAHASAN


A.  Perkembangan Kehidupan Manusia
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1.       Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2.       Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3.       Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4.       Umur 12 – 21 tahun, periode sosial atau masa pemuda.
5.       Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.

Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1.       Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2.       Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3.       Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4.       Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
5.       Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
6.       Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
7.       Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
8.       Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
9.       Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10.   Masa Tua, umur 60 tahun keatas.

B.  Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak
1.  Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
a)       0 – 2 tahun (masa vital)
b)      2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
c)       6 – 12 tahun (masa sekolah)

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (7 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
Dalam buku lain dinyatakan pada waktu lahir, anak belum beragama, ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah terpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin didalam kandungan.
Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran beragama itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah:
a.   Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak mulai dari hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap sikap dan perilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan diikuti oleh anaknya. Si anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersifat egosentris. Pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan dorongan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdo’a ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan, atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera.

b.   Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik
Keimanan si anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman, dan kenikmatan jasmaniah. Walaupun sekitar umur 8 tahun sikap anak makin tertuju kedunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang gaib dan dibayangkan secara konkret. Tuhan duhayati secara konkret sebagai pelindung. Pemberi kasih sayang dan pemberi kekuatan gaib. Kadang-kadang si anak mempercayai kempuan orang yang dikeramatkan untuk mendapatkan benda magis dari Tuhan yang dapat digunakan sebagai penangkal bahaya dan  pelindung diri. Ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi Sulaiman untuk digunakan sebagai alat bagi pemuasan kebutuhan dan keinginannya yang bersifat egosentris, konkret, dan segera.

c.   Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati
Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial dan mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.
Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi, disiplin, dan tumbuhnya kesadaran moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin, perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Surga, neraka, dan kehidupan akhirat tidak lagi hanya merupakan hayalan, akan tetapi merupakan keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekang diri dari perbuatan salah dan mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran.

2.  Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a.  The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajarannya, dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional, dan spontan tapi penuh arti teologis.

b.  The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.


c.  The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a.       Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b.       Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c.       Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.

Berkaitan dengan masalah ini, Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a.   Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b.   Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c.   Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d.   Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

  1. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
  1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
  1. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, do’a secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang do’a sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi do’a beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
  1. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
  1. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan do’a yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
  1. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
  1. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting


BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
a.       Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah: pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris, keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik, peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.
b.       Perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian: The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng), The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan), The Individual Stage (Tingkat Individu).
c.       Pada tingkat The Individual Stage (Tingkat Individu) anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan: (a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. (b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan). (c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama
d.       Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian: unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik), egosentris, anthromorphis, verbalis dan ritualis, imitatif, dan rasa heran.
























DAFTAR PUSTAKA



Ahyadi, Abdul Aziz. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila . Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.

Dister, Nico Syukur. Psikologi Agama. Jakarta: Kanisius, 2000.

Hasan, Aliah B. Purwakanta. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Ramayulis. Psikologi Agama. Bandung: Kalam Mulia, 2004.




































MAKALAH
AGAMA PADA MASA REMAJA DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah ”Psikologi Agama”














Disusun oleh :


Compiled by:
Yandy Puralexy





Selasa, 15 Februari 2011

Makalah Psikologi Agama (Islam)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dengan melihat pengertian psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari serta keadaan hidup pada umumnya.
Dengan ungkapan lain, psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Maka dalam kesempatan ini kami melihat fenomena dan sekaligus mengkaji serta memaksimalkan untuk memamparkan apa yang dialami oleh orang dewasa yang semakin merugikan diri sendiri dan ada juga yang beruntung. Karena pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara psikologi dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama tanpa psikologi berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada psikologi, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai salah satu contoh kemungkinan ini.

B. Rumusan Masalah
1.      bagaiman sikap orang dewasa dalam beragama dan layaknya seperti apa?
2.      bagaiman perkembangan agama pada masa orang dewasa menurut persepektif ilmu jiwa, sehingga memiliki kebijakan-kebijakan dalam mengambil keputusan?
3.      apa hambatan-hambatan yang menjadi faktor-faktor lambannya sikap orang dewasa dalam beragama. serta sejauhmana kematangan ia dalam beragaman?




BAB II
PEMBAHASAN


A. Macam-Macam Kebutuhan (need)
Dalam bukunya pengantar psikologi kriminal Drs. Gerson W. Bawengan, S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan pembagian sebagai berikut:
1. Kebutuhan individual terdiri dari:
a.       homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan.dengan adanya perimbangan ini maka tubuh akan tetap berada dalam keadaan mantap, stabil dan harmonis. Kebutuhan ini merliputi kebutuhan tubuh akan zat;protein, air, garam, mineral, vitamin, oksigen dan lainnya.
b.      regulasi temperatur, penyesuaian tubuh dalam usha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperatur badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disebut Hypothalmus. Ganguan regulasi temperatur akan menyebabkan tubuh mengalami gangguan.
c.       tidur, kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar gejala halusinasi.
d.      lapar, kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisk maupun mental.
e.       seks, kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis. Sigmun Freud menganggap kebutuhan ini sebagai kebutuhan vital manusia. Terutama pada masa remaja kebutuhan ini demikian menonjolnya sehingga sering mendatangkan pengaruh negatif.
f.        melarikan diri yaitu: kebutuhan manusiaa akan perlindungan dan keselamatan jasmani dan rohani.
g.       pencegahan yaitu: kebutuahan manusia untuk mencegah terjadinya reaksimelarikan diri.
h.       Ingin tau (curiosity) yaitu: kebutuhan rohani manusia untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehidupannya.

1.       Humor yaitu: kebutuhan manusia untuk mengurangi rasa beban pertanggungjawaban yang dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan.
2.       Kebutuhan sosial kebutuhan sosial manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulus) seperti layaknya pada binatang. Karena bentuk kebutuhan pada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan sekedar semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohani. Kebutuhan yang dialami pada mausia terbagi menjadi 2 (dua) kebutuhan pokok yaitu:
a.       kebutuhan primer, yaitu kebutahan jasmani
b.       kebutuhan sekuder atau kebutuhan rohani, kebutuhan ini sudah dirasakan manusia sejak masih kecil. Selanjutnya beliau membagi kebutuahan sekuder yang pokok menjadi 6 (enam) macam yitu:
1.       kebutuhan akan rasa kasih sayang
2.       kebutuhan akan rasa aman
3.       kebutuhan akan rasa harga diri
4.       kebutuhan akan bebas
5.       kebutuhan akan rasa sukses dan
6.       kebutuhan akan rasa ingin tau
3.       Kebutuhan manusia akan agama Selain berbagai macam kebutuhan yang disebutkan diatas masih ada lagi kebutuhan manusia yang sangat perlu diperhatikan yaitu kebutahan terhadap agama. Karena manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Hal semacam ini terjadi pada masyrakat moderen, maupun masyarak primitif.

B. Perkembangan Beragama Pada Orang Dewasa
1.      Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa adolesen, walaupun ada juga yang memasukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa namun demikian dapat disebut bahwa masa adolesen adalah menginjak dewasa yang mereka mempunyai sikap pada umumnya: Menentukan pribadinyaYaitu, bahwa ia mulai menyadari kemampuanya, kelebihannya dan kekuranganya sendiri. mulai dapat menempatkan diri ditengah masyarakat dengan jalan menyesuaikan diri dengan masyarakat, tetapi tiada tenggelam didalam masyarakat.

2.      Menentukan cita-citanya Yang dimaksud adalah bahwa sebagai kelanjutan dari pada kemampuanya, menyadari kelebihanya itu sebagai himpunan kekuatan yang dipergunakan sebagai sarana untuk kehidupan selanjutnya, agar dengan sarana itu ia tidak akan kehilangan haknya untuk ikut serta bersama-sama dengan anggota masyarakat yang lain untuk mengelola isi ala mini untuk kehidupanya.
3.      Menggariskan jalan hidupnya Maksudnya ialah bahwa jalan yang akan dilalaui di dalm perjuanganya mencapai cita-cita.
4.      Bertanggung jawab Bahwa ia telah mnengerti tentang perbedaan antara yang benar dan yang salah. Bila pada suatu ketika bahwa ia berbuat salah, serta ia menyadari akan kesalahanya itu, maka ia harus secepatnya berhenti dari kesalahan itu dan akan segera kembali ke jalan yang semestinya.
5.      Menghimpun norma-norma sendiri Ia telah mulai dapat menentukan sendiri hal-hal yang berguna, dan menunjang usahanya untuk mencapai cita-citanya itu, sejauh norma-norma itu tidak bertentangan dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakatnya, negara, dan bangsa pada umumnya.

Sikap-sikap diatas merupakan sikap yang mengawali masa dewasa dalam perkembangan selanjutnya seseorang telah menunjukkan kematangan jasmani dan rohaninya, sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap serta perasaan sosial sudah berkembang. Tanggungjawab individu, sosial dan susila sudah mulai tampak dan ia sudah mampu berdiri sendiri.
Kesetabilan dalam pandangan hidup beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. melainkan kesetabilan yang dinamis, dimana pada suatu ketika ia mengenal juga adanya perubahan-perubahan. adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada.
Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. selain itu tinghkah laku itu umumnya juga dilandasi oleh pendealaman pengertian dan keluasan pemahaman dtentang ajran agama yang di anutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan tingkah laku keagamaan orang dewasa dapat pula di lihat dari sikap keagamaanya yang memiliki ciri-ciri antara lain:


a.       Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan secara ikut-ikutan.
b.      Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma Agama lebih banyak di aplikasikan dalam sikap dan tingkah laku
c.       Bersikap positifthingking terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha mempelajari dan pehaman agama
d.      Tingkat ketaatan agama, berdasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab diri sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup
e.       Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas
f.        Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain di dasarkan atas pertimbangan pikiran juga di dasarkan atas pertimbangan hati nurani
g.       Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang di yakininya
h.       Terlihat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentigan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang

C.  Hambatan-Hambatan Dalam Perkembangan Serta Kematangan Beragama
Perkembangan keagamaan seseorang agar tercapai pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan suatu proses yang sangat panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri seseorang atau karena bersamaan dengan kematangan kepribadiannya. Seringkali seseorang menemukan dirinya mempunyai pemahaman yang baik akan kemantapan keagamaan hingga ia dewasa atau matang dalam beragama, hal tersebut adalah hasil dari konversi. Sedangkan dengan perkembangan kepribadian seseorang apabila sudah mencapai pada tingkat kedewasaan, maka akan ditandai degnan kematangan jasmani dan rohani.
Pada tahap kedewasaan awal telihat krisis psikologis yang dialami, oleh karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengeratkan hubungan dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk berbagi perasaan, bertukar pikiran dan memecahkan berbagai problem kehidupan denggan orang lain. Mereka yang sudah menginjak pada umur sekitar 25-40 tahun memiliki kecenderungan besar untuk hidup berumah tangga, kehidupan sosial yang lebih luas serta memikirkan masalah-masalah agama yang sejalan dengan latar belakang kehidupannya.
Kematangan atau kecenderungan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena manganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
Mengenai kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini, William james menyatakan bahwa umur keagamaan yang sangat luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia itu, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Tetapi menurut Robert Thoules, dari hasil temuan Gofer, memang menunjukkan bahwa kegiatan orang yang belum berumah tangga sedikit lebih banyak dari mereka yang telah berumah tangga, sedangkan kegiatan keagamaan orang yang sudah bercerai jauh lebih banyak dari keduanya. Menurut Thoules hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan berkorelasi terbaik dengan tingkat pemenuhan seksual sebagai sesuatu yang diharapkan bila penyimpangan seksual itu benar-banar merupakan salah satu faktor yang mendorong di balik prilaku keagamaan itu. Yang paling mencolok adalah kecenderungan emosi keagamaan yang diekspresikan dalam bahasa cinta manusia. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaan senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab, bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Dan pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan tersebut, di antaranya adalah:
1.      Faktor diri sendiri Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua yang menonjol di antaranya kepasitas diri dan pengalaman.
a.       Kapasitas diri ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaanna antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Sejarah menunjukkan bahwa makin banyak pengetahuan diperoleh, makin sedikit kepercayaan agama mengendalikan kehidupan.
b.       Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan. Namun bagi mereka yang mempuynai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2.      Faktor luar (lingkungan) Faktor luar yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dan apa yang telah ada. Faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima.
Hal ini sebagai landasan membuat kebiasaan baru yang lebih stabil dan bisa dipertanggungjawabkan serta memiliki kedewasaan dalam beragama. Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William James, mangemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu:
a.       Faktor interen, tediri dari;
·         Temperamen; tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
·         Gangguan jiwa; orang ang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tungkah lakunya.
·         Konflik dan keraguan; konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama, seperti taat, fanatik, agnotis, maupun ateis.
·         Jauh dari tuhan; orang yang hidupna jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat manghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri mereka yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut:
a.       Pesimis
b.       Introvert
c.       menyenangi paham yang otodoks
d.       mengalami proses keagamaan secara graduasi
b.       Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
·         Musibah; sering kali musibah yang sangat serius dapat mengguncang seseorang, dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaan.
·         Kejahatan; mereka yang hidup dalam lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Sering pula perasaan yang fitrah menghantui dirinya, yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik. Adapun cirri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:


1.      optimisme dan gembira
2.      ekstrovert dan tidak mendalam
3.      menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal. Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:
a.       Menyenangi teologi yang luas dan tidak kaku
b.       Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c.       Menekankan cinta kasih dari pada kemurkaan dan dosa.
d.       Memplopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e.       Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f.         Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama.
g.       Selalu berpandangan positif.
h.       Berkembang secara graduasi.

























BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan
Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan manusia dilandasi kepercayan beragama. sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol jika, kebutuaan akan beragama tertanam dalam dirinya.
Kesetabilan hidup seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Namun, masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan orang dewasa dalam beragama. kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.

B. Saran-saran
Demi kematangan dan perkembangan kita dalam menganalisa seperti apa agama pada orang dewasa maka, kami sangat memerlukan kritik, saran, tanggapan, dan komentarnya terhadap tulisan makalah ilmiah ini.
Tulisan ini sekarang on-line diwebset: http://seekemal.wordpress.com dan http://skmkemal.wetpain.com





KATA PENGANTAR


Puji syukur kami selaku penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi perbaikan makalah di masa mendatang.
Adapun makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah PSIKOLOGI AGAMA”

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.




Rangkasbitung,     November 2004


Penyusun











i
 


DAFTAR ISI





i
ii



1
1



2
3
5



9
9


 


KATA PENGANTAR ...................................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................................


BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang .................................................................................................
B.      Rumusan Masalah .............................................................................................


BAB II PEMBAHASAN
A.     Macam-Macam Kebutuhan (need) ………………………………………………
B.     Perkembangan Beragama Pada Orang Dewasa ....................................................
C.     Hambatan-Hambatan Dalam Perkembangan Serta Kematangan Beragama .........


BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A.     Kesimpulan ............................................................................................................
B.     Saran ......................................................................................................................


DAFTAR PUSTAKA











ii
 



DAFTAR PUSTAKA


Audifax, Posisi Psikologi Diantara Sistem Pemikiran Animisme, Agama, dan Ilmiah, http://radioliner.net.tc/ 11 Aug 2005.
Jalaluddin, Psikologi Agama revisi ketiga, PT. Raja Grafindo Persaada, Jakarta 2005.
Rakhmat Jalaluddin, psikologi agama, PT. Mizan pustaka, bandung 2005.
Ramayulis, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta 2002.
Sholhoe, psikologi agama sebagai disiplin ilmu, http://www.freelists.org/ archives/ppi/10-2005/msg00047.html.
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, PT. Raja Grafindo Persaada, Jakarta 2004.


































 




MAKALAH

Diajukan Untuk mememuhi salah satu Tugas
Individu pada Mata Kuliah  ”PSIKOLOGI AGAMA”






Disusun Oleh
NAMA   : YANDY.P  












 

puralexy picture

puralexy picture
i like it