Sebuah Hadits

1. Muslim

حدّثنا ﺃﺒﻮﺍﺒﻜﺮﺒﻦﺃﺒﻰﺸﻴﺒﺔ, ﻮﻤﺤﻤﺪﺒﻦﻋﺒﺪﺍﷲﺒﻦﻨﻤﻴﺮ, ﻮﻤﺤﻤﺪﺒﻦﺍﻠﻤﺜﻨﻰ (ﻮﺍﻠﻔﻈﻷﺒﻲﺒﻜﺮﻮﺍﺒﻦﻨﻤﻴﺮ)ﻘﺎﻠﻮﺍ: ﺤﺪﺜﻨﺎﻤﺤﻤﺪﺒﻦﻔﻀﻴﻞﻋﻦﺃﺒﻲﺴﻨﺎﻦ (ﻮﻫﻮﻀﺮﺍﺒﻦﻤﺮﺓ) ﻋﻦﻤﺤﺎﺮﺐﺒﻦﺪﺜﺎﺮ, ﻋﻦﺍﺒﻦﺒﺮﻴﺪﺖ, ﻋﻦﺃﺒﻴﻪ, ﻘﺎﻞ: ﻘﺎﻞﺮﺴﻮﻞﺍﷲﺼﻞﺍﷲﻋﺎﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢ: ((ﻨﻬﻴﺘﻜﻢ ﻋﻦﺰﻴﺎﺮﺓﺍﻠﻘﺒﻮﺮ, ﻔﺯﻮﺮﻮﻫﺎ, ﻮ ﻨﻬﻴﺘﻜﻢﻋﻦﻠﺤﻮﻢﺍﻻﻀﺎﺤﻲﻔﻮﻖﺜﻼﺚ,ﻔﺎﻤﺴﻜﻮﺍﻤﺎﺒﺪﺍﻠﻜﻢ.ﻮﻨﻬﻴﺘﻜﻢﻋﻦﺍﻠﻨﻴﺬﺇﻻﻔﻲﺴﻘﺎﺀ, ﻔﺸﺮﺒﻮﺍﻔﻲﺍﻻﺴﻘﻴﻪﻜﻠﻫﺎ. ﻮﻻﺘﺸﺮﺒﻮﺍﻤﺴﻜﺮﺃ)).[1]



[1] Kitab Shahih Muslim.Zanaiz. Juz, 1. No: 106. hal. 429-430

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA

MAKALAH

AGAMA PADA MASA REMAJA DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah ”Psikologi Agama”

Disusun oleh :

Compiled by:

Yandy Puralexy

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.

Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).

Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga. Oleh karena itu penulis akan membahas perkembangan jiwa beragama pada masa kanak-kanak.

B. Rumusan Masalah

1. Ciri-ciri kesadaran beragama pada masa anak-anak.

2. Tahap perkembangan beragama pada anak-anak

3. Sifat kesadaran beragama pada masa kanak-kanak


BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Kehidupan Manusia

Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:

1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.

2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.

3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)

4. Umur 12 – 21 tahun, periode sosial atau masa pemuda.

5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.

Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:

1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.

2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.

3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.

4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.

5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.

6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun

7. Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.

8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.

9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.

10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.

B. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak

1. Agama Pada Masa Anak- Anak

Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:

a) 0 – 2 tahun (masa vital)

b) 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)

c) 6 – 12 tahun (masa sekolah)

Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.

Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.

Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (7 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.

Dalam buku lain dinyatakan pada waktu lahir, anak belum beragama, ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah terpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin didalam kandungan.

Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran beragama itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah:

a. Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris

Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak mulai dari hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap sikap dan perilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan diikuti oleh anaknya. Si anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersifat egosentris. Pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan dorongan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdo’a ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan, atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera.

b. Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik

Keimanan si anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman, dan kenikmatan jasmaniah. Walaupun sekitar umur 8 tahun sikap anak makin tertuju kedunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang gaib dan dibayangkan secara konkret. Tuhan duhayati secara konkret sebagai pelindung. Pemberi kasih sayang dan pemberi kekuatan gaib. Kadang-kadang si anak mempercayai kempuan orang yang dikeramatkan untuk mendapatkan benda magis dari Tuhan yang dapat digunakan sebagai penangkal bahaya dan pelindung diri. Ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi Sulaiman untuk digunakan sebagai alat bagi pemuasan kebutuhan dan keinginannya yang bersifat egosentris, konkret, dan segera.

c. Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati

Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial dan mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.

Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi, disiplin, dan tumbuhnya kesadaran moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin, perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Surga, neraka, dan kehidupan akhirat tidak lagi hanya merupakan hayalan, akan tetapi merupakan keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekang diri dari perbuatan salah dan mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran.

2. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak

Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:

a. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)

Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.

Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajarannya, dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional, dan spontan tapi penuh arti teologis.

b. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)

Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.

Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

c. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:

a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.

b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).

c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.

Berkaitan dengan masalah ini, Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:

a. Fase dalam kandungan

Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,

b. Fase bayi

Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.

c. Fase kanak- kanak

Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.

d. Masa anak sekolah

Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

  1. Sifat agama pada anak

Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:

  1. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)

Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.

  1. Egosentris

Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.

Pada usia 7 – 9 tahun, do’a secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang do’a sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi do’a beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.

  1. Anthromorphis

Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.

  1. Verbalis dan Ritualis

Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan do’a yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).

  1. Imitatif

Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan

  1. Rasa heran

Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah: pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris, keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik, peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.

b. Perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian: The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng), The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan), The Individual Stage (Tingkat Individu).

c. Pada tingkat The Individual Stage (Tingkat Individu) anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan: (a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. (b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan). (c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama

d. Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian: unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik), egosentris, anthromorphis, verbalis dan ritualis, imitatif, dan rasa heran.

DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul Aziz. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila . Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.

Dister, Nico Syukur. Psikologi Agama. Jakarta: Kanisius, 2000.

Hasan, Aliah B. Purwakanta. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Ramayulis. Psikologi Agama. Bandung: Kalam Mulia, 2004.

Sabtu, 12 Februari 2011

Hadits


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

puralexy picture

puralexy picture
i like it