- Sifat agama pada anak
- Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
- Egosentris
- Anthromorphis
- Verbalis dan Ritualis
- Imitatif
- Rasa heran
Assalamu'alaikum.Wr.Wb... selamat datang para pecinta blogger.. cintailah hidup,, karena hidup adalah satu perjuangan yang tiada henti, maka dari itu terus jalani hidup dengan penuh kesabaran, tawakal, Ingat akan Allah SWT mohon do'a dan jalani segala perintah-Nya,,, jangan pernah mundur, pantang menyerah untuk hidup menjadi lebih baik.. Wassalam...
1. Muslim
حدّثنا ﺃﺒﻮﺍﺒﻜﺮﺒﻦﺃﺒﻰﺸﻴﺒﺔ, ﻮﻤﺤﻤﺪﺒﻦﻋﺒﺪﺍﷲﺒﻦﻨﻤﻴﺮ, ﻮﻤﺤﻤﺪﺒﻦﺍﻠﻤﺜﻨﻰ (ﻮﺍﻠﻔﻈﻷﺒﻲﺒﻜﺮﻮﺍﺒﻦﻨﻤﻴﺮ)ﻘﺎﻠﻮﺍ: ﺤﺪﺜﻨﺎﻤﺤﻤﺪﺒﻦﻔﻀﻴﻞﻋﻦﺃﺒﻲﺴﻨﺎﻦ (ﻮﻫﻮﻀﺮﺍﺒﻦﻤﺮﺓ) ﻋﻦﻤﺤﺎﺮﺐﺒﻦﺪﺜﺎﺮ, ﻋﻦﺍﺒﻦﺒﺮﻴﺪﺖ, ﻋﻦﺃﺒﻴﻪ, ﻘﺎﻞ: ﻘﺎﻞﺮﺴﻮﻞﺍﷲﺼﻞﺍﷲﻋﺎﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢ: ((ﻨﻬﻴﺘﻜﻢ ﻋﻦﺰﻴﺎﺮﺓﺍﻠﻘﺒﻮﺮ, ﻔﺯﻮﺮﻮﻫﺎ, ﻮ ﻨﻬﻴﺘﻜﻢﻋﻦﻠﺤﻮﻢﺍﻻﻀﺎﺤﻲﻔﻮﻖﺜﻼﺚ,ﻔﺎﻤﺴﻜﻮﺍﻤﺎﺒﺪﺍﻠﻜﻢ.ﻮﻨﻬﻴﺘﻜﻢﻋﻦﺍﻠﻨﻴﺬﺇﻻﻔﻲﺴﻘﺎﺀ, ﻔﺸﺮﺒﻮﺍﻔﻲﺍﻻﺴﻘﻴﻪﻜﻠﻫﺎ. ﻮﻻﺘﺸﺮﺒﻮﺍﻤﺴﻜﺮﺃ)).[1]
MAKALAH
AGAMA PADA MASA REMAJA DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah ”Psikologi Agama”
Disusun oleh :
Compiled by:
Yandy Puralexy
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga. Oleh karena itu penulis akan membahas perkembangan jiwa beragama pada masa kanak-kanak.
B. Rumusan Masalah
1. Ciri-ciri kesadaran beragama pada masa anak-anak.
2. Tahap perkembangan beragama pada anak-anak
3. Sifat kesadaran beragama pada masa kanak-kanak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Kehidupan Manusia
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2. Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3. Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12 – 21 tahun, periode sosial atau masa pemuda.
5. Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
6. Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
7. Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
8. Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
9. Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.
B. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Anak-anak
1. Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
a) 0 – 2 tahun (masa vital)
b) 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
c) 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (7 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
Dalam buku lain dinyatakan pada waktu lahir, anak belum beragama, ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Isi, warna, dan corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah terpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin didalam kandungan.
Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran beragama itu berlanjut, namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah:
a. Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak mulai dari hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya disadari oleh si anak terhadap sikap sikap dan perilaku orang tua. Orang tua merupakan tokoh idola bagi si anak, sehingga apapun yang diperbuat oleh orang tua akan diikuti oleh anaknya. Si anak menghayati Tuhan lebih sebagai pemuas keinginan dan hayalan yang bersifat egosentris. Pusat segala sesuatu bagi si anak adalah dirinya sendiri, kepentingan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan dorongan biologisnya. Si anak kalau disuruh berdo’a ia akan memohon kepada Tuhan untuk diberi mainan, permen, kue, buah-buahan, atau alat pemuas kebutuhan biologis lainnya yang bersifat konkret dan segera.
b. Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik
Keimanan si anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang objektif, akan tetapi merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman, dan kenikmatan jasmaniah. Walaupun sekitar umur 8 tahun sikap anak makin tertuju kedunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan pribadinya dengan sesuatu yang gaib dan dibayangkan secara konkret. Tuhan duhayati secara konkret sebagai pelindung. Pemberi kasih sayang dan pemberi kekuatan gaib. Kadang-kadang si anak mempercayai kempuan orang yang dikeramatkan untuk mendapatkan benda magis dari Tuhan yang dapat digunakan sebagai penangkal bahaya dan pelindung diri. Ia ingin memiliki semacam tongkat Nabi Musa atau cincin Nabi Sulaiman untuk digunakan sebagai alat bagi pemuasan kebutuhan dan keinginannya yang bersifat egosentris, konkret, dan segera.
c. Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati
Pada umur 6-12 tahun perhatian anak yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial dan mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun, dan tata cara bertingkah laku yang sesuai dengan lingkungan rumah dan sekolahnya.
Pada usia 12 tahun pertama merupakan tahun-tahun sosialisasi, disiplin, dan tumbuhnya kesadaran moral. Dengan adanya kesadaran bermoral dan disiplin, perhatian anak pada kehidupan keagamaan semakin bertambah kuat. Surga, neraka, dan kehidupan akhirat tidak lagi hanya merupakan hayalan, akan tetapi merupakan keharusan moral yang dibutuhkan guna mengekang diri dari perbuatan salah dan mendorong untuk mengerjakan kebaikan dan kebenaran.
2. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajarannya, dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional, dan spontan tapi penuh arti teologis.
b. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Berkaitan dengan masalah ini, Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, do’a secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang do’a sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi do’a beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan do’a yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah: pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat afektif, emosional dan egosentris, keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju fase realistik, peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang dihayati.
b. Perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian: The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng), The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan), The Individual Stage (Tingkat Individu).
c. Pada tingkat The Individual Stage (Tingkat Individu) anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang di individualistik ini terbagi menjadi tiga golongan: (a) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. (b) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan). (c) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama
d. Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian: unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik), egosentris, anthromorphis, verbalis dan ritualis, imitatif, dan rasa heran.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi, Abdul Aziz. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila . Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.
Dister, Nico Syukur. Psikologi Agama. Jakarta: Kanisius, 2000.
Hasan, Aliah B. Purwakanta. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Ramayulis. Psikologi Agama. Bandung: Kalam Mulia, 2004.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Terjemahan Ayat-ayat
1. QS. Al-Baqarah ayat 222
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu tidaklah kamu menjauhkan diri (137) dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (138), apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(137) Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
(138) Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
2. QS. Al-Maidah ayat 6
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit (403) atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (404) perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(403) Maksudnya : sakit yang tidak boleh kena air.
(404) Artinya : menyentuh, menurut Jumhur ialah : menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah menyetubuhi.
3. QS. Al-Muddatstir ayat 4
Artinya : Dan pakaianmu bersihkanlah.
4. QS. Al-Taubah ayat 108
Artinya : Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (Mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya, di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri, dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
5. QS. Al-Thalaq ayat 4
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) diantara perempuan-peremupuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya, dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
6. QS. Al-An’am ayat 74-79
Artinya : Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar (489), “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” 74
Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. 75
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata : “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata : “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”76
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata : “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata : “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” 77
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata : “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata : “Hai kaumku, sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”78
Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. 79
(489) Diantara Mufassirin ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Abiihi (bapaknya) ialah pamannya.
7. QS. Al-Shaffat ayat 95
Artinya : Ibrahim berkata : “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?
8. QS. Al-Anbiya ayat 66-67
Artinya : Ibrahim berkata : “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” 66
Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, maka apakah kamu tidak memahami? 67
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Penghambat Berfikir
Dalam Al-Qur’an juga dikemukakan faktor-faktor penting yang menghambat pemikiran, membuatnya statis, terhalangi dari realitas, serta terhalangi membuat penilaian-penilaian yang benar mengenai hal yang dihadapinya. Faktor-faktor tersebut adalah berpegang teguh pada fikiran lama dan tidak cukup data yang ada.
1. Berpegang Teguh pada Fikiran Lama
Biasanya seseorang cenderung berpegang teguh pada apa yang telah menjadi kebiasaan atau yang telah biasa ia lakukan sebelumnya sehingga untuk melepaskan diri dari berbagai fikiran dan kebiasaannya yang akan membutuhkan usaha, kemauan, dan tekad yang kuat. Berpegang teguh pada fikiran lama, kebiasaan dan tradisi yang berlaku, inilah yang merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan fikiran menjadi statis dan tidak mau menerima fikiran-fikiran baru yang dikemukakan padanya.
Kenapa hal ini dikatakan sebagai faktor penghambat berfikir? karena dengan berpegang teguhnya seseorang kepada sesuatu, maka kita dapat pastikan pemikiran-pemikirannya pasti memihak kepada hal yang dipegangnya dan tinjauan-tinjauan analitis yang pasti memihak, sedikit atau banyak. Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an, sebagai berikut :
a. QS. Yunus ayat 78
Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua".
b. QS. Al-Zukhruf ayat 22-23
Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka".
Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dan suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.
c. QS. Al-Maidah ayat 104
Apabila dikatakan kepada mereka : “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab : “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk.
d. QS. Al-Baqarah ayat 170
Dan apabila dikatakan kepada mereka : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab : “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.
e. QS. Al-A’raf ayat 70
Mereka berkata : “Apakah kamu datang kepada kami agar kami hana menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”
f. QS. Saba ayat 43
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang terang, mereka berkata : “Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang disembah oleh bapak-bapakmu”, dan mereka berkata : “(Al Qur’an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja”. Dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu tidak datang kepada mereka : “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.
2. Tidak Cukup Data yang Ada
Dalam metode berfikir perspektif Al-Qur’an, tak mudah untuk berfikir tanpa data dan informasi yang cukup yang diperlukannya mengenai obyek atau problem yang dihadapinya. Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan tentang pentingnya pengetahuan tentang obyek yang difikirkan untuk bisa sampai pada realitas yang sebenarnya.
Al-Qur’an melarang kita menyatakan pendapat tentang sesuatu yang tidak kita ketahui atau yang tidak kita mliki data dan informasi yang terhimpun dalam pengetahuan tentangnya. Allah SWT berfirman :
a. QS. Al-Isra ayat 36
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya.
b. QS. Al-Hajj ayat 3
Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat.
c. QS. Al-Hajj ayat 8
Dan diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.
d. QS. Ghafir ayat 35
(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
e. QS. Ghafir ayat 56
Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
f. QS. Yunus ayat 36
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
g. QS. Al-Jatsiyah ayat 32
Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya)".
Apabila seseorang tidak berhasil memperoleh semua data tentang obyek yang difikirkan, kadang ia berpaling pada dugaan dan menempuh jalan keluar yang bisa salah dan bisa benar. Sering orang mempergunakan dugaan dalam menilai sesuatu tanpa memiliki bukti yang mendukung dugaannya itu, dan kemudian sering ternyata dugaan tersebut ternyata salah, maka Allah SWT memperingatkan dalam Al-Qur’an, yang artinya : “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
Oleh karena kestatisan pemikiran demikian buruk akibatnya bagi manusia, karena membuatnya kehilangan ciri utama yang dianugerahkan Allah kepadanya dan yang membedakannya dari hewan, malah lebih rendah lagi, maka Al-Qur’an mendorong manusia untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang membelenggu pemikiran dan memacetkan akal budinya. Lebih jauh Allah juga mengecam orang-orang yang musyrik yang mengekor nenek moyang mereka dalam pemikiran dan agama mereka, dan membuat mereka menolak ide-ide baru.
B. Memahami Ayat dengan Ayat
Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat :
"Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (Yunus : 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus : 63)
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.
Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah : "Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (Thaha: 66)
C. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih
Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam. Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya :
"Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan." (An-Nahl : 44)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda : "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)
Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:
Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (Yunus : 26)
Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda : "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (HR. Muslim).
Ketika turun ayat, yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (Al-An'am : 82)
Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karenanya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)
Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
D. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat
Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (Thaha 5)
Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).
E. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab
Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (Yusuf : 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).
Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.
Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah..." (Muhammad: 19).
Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).
Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: "Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil." (Luqman: 30).
Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (Az-Zukhruf: 84).
Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."
Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh : iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'in. artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).
Didahulukannya kata iyyaaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in, ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).
F. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul
Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya: "Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (Al-Israa': 56-57).
Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.
1. Firman Allah SWT QS Al-Nisa (4): 43
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab seorang bertayamum dan dalam keadaan tidak ada air, bila ia “menyentuh” wanita (لََمستم النساء ). Menurut Ibnu Mujahid, bahwa Ibn Kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr, dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساءsedangkan Hamzah dan al-Kisa’I membacanya dengan لمستم النساء Dalam I’rabul Qur’an dijelaskan bahwa لمستم النساء ada tiga macam pendapat ulama tentang maknanya yaitu (1) hubungan seksual ( جامعتم ) (2) bersentuh ( باشرتم ) (3) bersentuh dan berhubungan seksual (يَجْمع الأمْرَيْن جميع ). Akan tetapi menurut Muhammad bin Yazid, bahwa yang lebih tepat makna لامستم ialah berciuman ( قَبّلْتُم ) dan semisalnya, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna (لمستم) adalah menyentuh karena pihak wanita (yang disentuh) dalam hal ini tidak aktif.
Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak membatalkan wudhu. Sebab, menurut Hanafi, kata (لامستم) di sini berarti hubungan seksual dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan nafsu berahi. Sedangkan menurut Mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudhu baik yang menyentuh maupun yang disentuh. Kata (لامس) dalam ilmu sharaf merupakan bentuk kara kerja musyarakah, adanya interaksi antara yang menyentuh dan disentuh. Sedangkan qira’at (لمس) adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira’at pertama mendukung pendapat Mazhab Hanafi dan Maliki, dan qira’at kedua mendukung pendapat Mazhab Syafi’i.
Dalam Mafatih al-Ghaib disebutkan, menurut Ibn Abbas, al-Hassan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah bahwa yang dimaksud dengan Laamastum ialah hubungan seksual. Sedangkan Ibn Mas’ud , Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud ialah bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi menguatkan pendapat terakhir, karena makna hakiki dari lamasa ialah menyentuh dengan tangan. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan pengertian hakiki. Sekalipun menurut al-Qasimiy dapat diartikan dengan makna “bersetubuh” tapi hal itu makna majazinya. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan makna hakikinya. Hemat penulis, batalnya wudhu dengan sebab bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, baik bersentuhan itu sekedar ataupun sampai hubungan seksual. Karena inilah arti hakiki dari kata (لمس) (menyentuh) dan (لامس) (bersentuhan).
2. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 222
Ayat ini memberi informasi larangan bagi suami melakukan hubungan seksual dengan isteri yang sedang haid. Larangan tersebut berakhir dengan, jika istri sudah suci kembali (حتّى يَطْهُرْنَ ). Dalam Kitab Al-Saba’at disebutkan bahwa ada dua cara membaca kalimat tersebut yaitu menurut Hamzah, al-Kisa’i dan ‘Ashim riwayat Syu’bah, membacanya dengan (يَطَّهُرْنَ) Sedangkan Ibn Kasir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir dan ‘Ashim riwayat Hafsh, membacanya dengan (يَطْهُرْنَ)
Sebagian ulama menafsirkan qira’at : janganlah kamu berhubungan seksual dengan istri sampai mereka suci (الطهرَ). Sedangkan qira’at (يَطْهُرْنَ) menafsirkannya dengan “janganlah kamu bersenggama dengan mereka, sampai mereka bersuci التَطهّر) (. Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an disebutkan bahwa pengertian (التَطْهُرَ) ada yang menafsirkan dengan mandi; ada dengan wudhu; ada dengan mencucui farjinya (kemaluan) tempat keluarnya darah haid tersebut; dan ada pula yang menafsirkannya dengan mencuci atau membersihkan farj dan berwudhu.
Sehubungan dengan ini, Imam Malik, Imam Syafi’i, al-Awza’i dan al-Sawi berpendapat, bahwa seorang suami haram hukumnya bersenggama dengan seorang istrinya yang sedang dalam haid, sampai istrinya itu berhenti dari haid dan mandi junub. Imam as-Syafi’i memberi alasan qira’at mutawatirat (qira’at sab’ah). Bila ada dua versi qira’at dan dapat digabungkan, maka kita wajib menggabungkannya. Sehingga menjadi “Tidak boleh suami bersenggama dengan istri yang sedang haid, sampai istrinya itu berhenti dari darah haidnya (suci) dan mandi junub. Alasan lain ialah penggalan ayat berikutnya yaitu فاذا تَطَهّرْنَ) (فأْتوا هُنَّ bahwa boleh suami berhubungan seksual dengan istrinya yang telah menjalani haid, apabila telah bersuci dengan cara mandi.
Sementara itu Abu Hanifah menafsirkan (ولا تقربوهن حتى يَطَّهُرْنَ) dengan: janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka suci, yakni telah berhenti dari haid. Dengan demikian suami boleh melakukan hubungan seksual dengan istri mereka setelah darah haid mereka berhenti. Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut, Hasanuddin berpendapat bahwa batas keharaman seorang suami melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang haid itu ialah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti dari haidnya dan telah mandi dari hadas besarnya. Hal ini mengingat pengertian (التطهر) dalam rangkaian ayat tersebut yaitu (فإذا تَطَهُّرْن فأْتوهن)
3. Firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 6.
Persoalan dalam ayat ini apakah dalam berwudhu itu wajib membasuh kedua kaki (وأرجلكم) atau cukup dengan menyapunya saja. Menurut al-Khinn, bahwa perbedaan ini timbul dari perbedaan qira’at. Nafi’, Ibn Amir dan al-Kisai membaca (أَرْجُلَكم) dengan nasab (fathah lam). Sedangkan Ibn Kasir, Abu Amir dan Hamzah membacanya dengan jarr (kasrah lam). Dengan mengambil qira’at nashab, jumhur ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak memadai dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Syi’ah Imamiyah berpegang pada qira’at jarr sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam berwudhu. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn Abbas dan Anas bin Malik. Senada dengan iti Jahid mengemukakan bahwa wajib menyapu kedua kaki bagi yang memilih qira’at kasrah lam dan wajib membasuh bagi yang memilih qira’at fathah lam. Qira’at fathah lam menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu wajib dicuci (dibasuh) karena ma’tuf kepada فاغسلوا وجوهَكم)) Sementara qira’at jarr lam menurut lahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada (وامسحوا برءوسِكم).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari bahasan-bahasan di atas, sekilas kita dapat fahami bahwa Al-Qur’an yang merupakan kitab induk undang-undang kehidupan pun telah mengajarkan banyak hal tentang metode berfikir, hal ini dibuktikan dengan ditemukan dan dikemukakannya ayat-ayat tentang berfikirnya manusia, sisi-sisi yang dilarang, faktor-faktor penghambatnya, dan tidak lupa jalan keluarnya.
Kita sebagai manusia layaknya terus selalu berfikir dan mengumpulkan data dan informasi tentang sebuah obyek pemikiran, menciptakan analogi, hipotesa dan keputusan yang didasari untuk mencari, menemukan, dan mendapatkan kebenaran, yang kita hasilkan dengan kejernihan akal dan feeling juga insting sebagai manusia yang diberikan akal dan kemampuan nalar yang luar biasa, sehingga kita akan mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang objektif dan tak memihak ataupun memaksakan kepentingan pribadi.
[رواه مسلم]
Dari Umar juga dia berkata:
“Ketika kami duduk-duduk di samping Rasul Allah suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh. Tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasul Allah) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?” maka bersabdalah Rasul Allah: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan pergi berhaji apabila mampu.” Kemudian dia berkata: “Engkau benar.”
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk,” kemudian dia berkata: “Engkau benar”.
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan (kebaikan)”. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”. Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya,” beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya,” kemudian orang itu berlalu.
Aku berdiam sebentar, kemudian beliau (Rasul Allah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan orang yang diutus-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (dengan maksud) mengajar tentang agama kalian.” [HR. Hadis Ditinjau Dari Kualitas |
Maudhu |
Lighayrihi |
Lidzatihi |
Ahad |
Mutawatir |
Shahih |
Hasan |
Dha’if |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar